Ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997/1998, ekonomi kita seperti luluh lantak. Pemutusan hubungan kerja meraja lela, banyak perusahaan yang harus tutup dan bahkan sampai kini Anda masih bisa menyaksikan korbannya berupa kota hantu di daerah Sentul. Suatu komplek yang semula direncanakan menjadi komplek perumahan mewah, semasa krisis moneter ditinggalkan pengembang dan calon pembelinya dengan menyisakan puing-puing bekas penjarahan. Namun obat yang begitu pahit bagi bangsa ini tersebut, ternyata menyembuhkan suatu penyakit kronis yang disebut defisit dalam neraca perdagangan.
Dari grafik di atas kita tahu bahwa selama belasan tahun sebelum krisis, Indonesia selalu mengalami defisit dalam neraca perdagangannya. Hanya setelah krisis moneter melanda, tiba-tiba kita menjadi surplus hingga kini. Lho kok bisa ?. Apakah industri kita lebih efisien sehingga lebih mampu bersaing dengan pasar global ?, apakah kita ada inovasi teknologi baru ?, produk ekspor unggulan baru ?, pasar tujuan ekspor baru ?. Tidak juga demikian !.
Kita menjadi tiba-tiba mampu bersaing karena nilai uang kita menjadi sangat rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai daya beli uang negara-negara lain. Bila gaji buruh, pegawai dan bahkan direksi tiba-tiba nilainya tinggal seperempatnya karena nilai mata uang kita yang jatuh (1998); demikian pula dengan ongkos kandungan local dari industri-industri kita – pastilah produk-produk ekspor kita menjadi sangat kompetitif dari sisi harga.
Dari pengalaman Indonesia men-terapi penyakit kronisnya tersebut; kita tahu bahwa secara efektif kita bisa sembuh dari penyakit kronis defisit neraca perdagangan melalui kejatuhan nilai mata uang Rupiah kita.
Baca Selengkapnya »Menduga Masa Depan Harga Emas Dari Neraca Perdagangan